Sabtu, 26 November 2011

MENUJU KAJIAN ISLAM KRITIS-AKADEMIS: SEBUAH PENGANTAR

Perkembangan kajian Islam (Islamic studies) di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang relatif menggembirakan. Jika pada dekade 1970-an dan 1980-an sebuah kajian Islam dalam perspektif kritis-akademis cukup sulit ditemukan di lembaga pendidikan tinggi Islam seperti UIN/IAIN/STAIN dan semacamnya, maka kajian-kajian semacam ini sekarang bermunculan ibarat cendawan di musim hujan. Kenyataan ini tidak bisa dilepaskan dari revolusi paradigmatik di tubuh lembaga pendidikan tinggi Islam yang gerakannya diinisiasi oleh sejumlah pemikir Muslim ternama seperti Harun Nasution dan Munawir Sadzali.
Adalah Harun Nasution sebagai intelektual Muslim yang paling bertanggungjawab atas diperkenalkannya pendekatan rasional-kritis dalam kajian Islam di lembaga pendidikan tinggi Islam, terutama IAIN. Sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia telah melakukan banyak perubahan mendasar terkait dengan pengembangan kajian Islam yang bertumpu pada kekuatan metodologis ilmiah. Efek domino dari gerakan pembaruan paradigmatik kajian Islam yang dilakukan Nasution turut dirasakan di IAIN-IAIN lain di Indonesia, terutama karena kebanyakan pimpinan lembaga pendidikan tinggi Islam ketika itu adalah juga anak didiknya ketika mereka menempuh jenjang studi lanjut (Program S2 dan S3) di Program Pascasarjana IAIN Jakarta. Tidak diragukan lagi, ia adalah peletak dasar pengembangan kajian Islam yang menekankan pada vitalitas dan validitas metodologis-ilmiah.
Orang kedua yang paling bertanggungjawab dalam perkembangan kajian Islam kritis di lembaga pendidikan tinggi Islam adalah Munawir Sadzali. Sebagai Menteri Agama RI dua periode berturut-turut pada masa Orde Baru, Munawir Sadzali telah menginisiasi sejumlah program unggulan di Departemen Agama RI yang berdampak langsung terhadap perubahan paradigmatik kajian Islam. Yang pertama adalah Program Pembibitan Dosen IAIN yang dipusatkan pada satu IAIN tertentu sebagai “kawah candradimuka” bagi calon-calon dosen seluruh IAIN se Indonesia selama sembilan bulan untuk mendadar diri dalam hal metode berpikir kritis, bahasa asing (Arab dan Inggris), serta kajian metodologis. Hingga saat ini, sudah lebih 250 orang dosen IAIN dilahirkan dari program ini.
Program kedua yang diintroduksi oleh Munawir Sadzali adalah dikirimkannya dosen-dosen IAIN di seluruh Indonesia untuk belajar kajian Islam di sejumlah universitas terkemuka di Barat, terutama di McGill University, Canada, yang sebagian besar feeder-nya juga diambilkan dari alumni program pembibitan dosen IAIN. Program ini juga telah bertanggungawab atas lahirnya banyak dosen IAIN yang lulusan Barat di jenjang S2 dan S3, sebuah fenomena yang pada masa-masa sebelumnya dianggap sebagai sesuatu yang tabu atau bahkan mission impossible.
Program terakhir adalah dibukanya Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) di sejumlah kota (Yogyakarta, Ciamis dan Jember) guna mengkader calon ulama yang fasih mengulas ilmu-ilmu agama dari rujukan-rujukan primer berbahasa asing, terutama bahasa Arab. Hal ini berangkat dari keprihatinan Munawir Sadzali akan produk Madrasah Aliyah pasca terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri—Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan—tahun 1975 yang telah merombak komposisi kurikulum Madrasah Aliyah dengan muatan ilmu-ilmu agama 30 persen dan muatan ilmu-ilmu umum 70 persen.
Memang kedua “Begawan” kajian Islam Indonesia di atas telah pergi. Namun keduanya telah meninggalkan epistemic legacy yang tidak ternilai harganya dan tidak pernah lekang dari peta atau konfigurasi kajian Islam di Indonesia. Warisan akademis semacam inilah yang pada gilirannya berkontribusi bagi pengembangan kajian Islam yang kritis-akademis di lembaga pendidikan tinggi Islam dewasa ini. Secara langsung maupun tidak, sejumlah nama penting dalam peta kajian Islam di Indonesia—seperti Amin Abdullah dan Azyumardi Azra—tidak bisa dilepaskan dari sentuhan “tangan dingin” kedua Begawan di atas.
Pertanyaannya, apa dan bagaimana kajian Islam yang kritis-akademis itu? Pertama, kajian Islam yang kritis-akademis didorong oleh semangat, komitmen dan integritas  pure scientific inquiry yang kuat. Berbeda dengan kajian Islam yang berlangsung sebelum dekade 1970-an, kajian Islam kritis-akademis lebih menekankan pada obyektifitas akademis yang secara metodologis bisa dipertanggungjawabkan tingkat keilmiahannya. Jika modus kajian Islam era sebelum 1970-an lebih banyak diwarnai oleh perdebatan ideologis-normatif-apologetik, maka kajian Islam kritis-akademis lebih banyak bertumpu pada kekuatan nalar metodologis yang tunduk pada kaidah-kaidah ilmiah yang lazim berlaku dalam jagat ilmu pengetahuan: logiko-hipotetiko-verifikatif.
Kedua, kajian Islam kritis-akademis diwarnai oleh ekspansi metodologis dan perspektif teoretis yang dipinjam dari berbagai cabang keilmuan, terutama rumpun ilmu-ilmu sosial-humaniora. Sebagai produknya, maka bermunculanlah kajian Islam yang bersifat inter dan multi-disciplinary studies, akibat persilangan dan ramifikasi metodologis di luar ilmu-ilmu keislaman. Modus persilangan metodologis dan teoretik itu tidak saja berlangsung secara internal di dalam body ilmu-ilmu keislaman itu sendiri, melainkan meluas di sejumlah disiplin keilmuan rumpun ilmu-ilmu sosial-humaniora, bahkan sebagian ilmu-ilmu eksakta.
Sebagai contoh, kajian Islam inter-disciplinary telah melahirkan sejumlah kajian yang bernuansa persilangan internal seperti tafsir tarbawi, hadits tarbawi, tafsir dakwah, hadits dakwah, dan semacamnya. Sementara itu, secara eksternal kajian Islam multi-disciplinary telah melahirkan tema-tema lintas disiplin seperti studi kritik hadits, hermeneutika tafsir al-Qur’an, sosiologi hukum Islam, sosiologi dakwah, ekonomi-politik pendidikan Islam dan seterusnya. Fenomena persilangan akademik ini, pada akhir dekade 1990-an dan awal 2000-an sering disebut sebagai IAIN with wider mandate, atau IAIN dengan mandat akademis lebih luas.
Ketiga, mulai bergesernya pendulum paradigmatik dalam kajian Islam dari nalar deduktif ke nalar induktif. Jika nalar deduktif telah melahirkan karya-karya akademis yang mengandalkan kajianya pada kekuatan argumentasi logis atau konsistensi pengungkapan proposisi-proposisi ilmiah semata (yang dalam filsafat ilmu disebut sebagai teori koherensi), maka nalar induktif bekerja pada konfirmasi dan afirmasi segala sesuatu yang logis-argumentatif tersebut dengan basis empiris di lapangan. Jika pembuktian kebenaran akademis dalam nalar deduktif lebih banyak berlangsung secara apriori, maka pembuktian kebenaran dalam nalar induktif lebih banyak berlangsung secara aposteriori. Oleh karena itu, kajian Islam kritis-akademis lebih banyak terkait dengan setting tertentu sebagai konteks penjangkaran atau pembumian obyek kajian Islam, baik secara ruang/tempat, waktu maupun kajian tokoh. 
sumber;kalam-bio.blogspot.com/.../contoh-rasulullah-menghargai-alam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar